Kasus bermula ketika Ahmad, yang mengklaim sebagai pemilik sah atas sebidang tanah di kawasan tersebut, mendapati adanya bangunan rumah pompa dan saluran irigasi milik PUDAM yang berdiri tanpa sepengetahuan dan persetujuannya.
Ironisnya, ketika Ahmad hendak meningkatkan status kepemilikan tanahnya menjadi sertifikat hak milik, ia justru menemukan bahwa tanah tersebut telah bersertifikat atas nama pihak lain dalam bentuk Sertifikat Hak Pakai (SKHP).
“Saat klien kami mengurus sertifikasi tanah, muncul kendala dari pihak BPN. Ternyata, sudah ada SKHP atas nama PUDAM yang terbit tanpa seizin pemilik asli. Ini mengejutkan dan menimbulkan pertanyaan besar soal proses penerbitan sertifikat tersebut,” ungkap Sujarwanto, SH, kuasa hukum Ahmad dari Lembaga Bantuan dan Penyuluhan Hukum (LBPH) Kosgoro Jombang, kepada wartawan.
Menurut Sujarwanto, tidak pernah ada proses komunikasi atau koordinasi antara kliennya dengan pihak PUDAM maupun instansi terkait sebelum pembangunan dilakukan. “Tidak ada pemberitahuan, tidak ada musyawarah, apalagi persetujuan tertulis. Tiba-tiba lahan itu digunakan dan kini malah bersertifikat. Ini jelas melanggar hak klien kami,” tegasnya.
Persidangan perdana perkara ini digelar pekan lalu di Pengadilan Negeri Bangkalan. Namun, pihak tergugat—dalam hal ini PUDAM Sumber Sejahtera—tidak menghadirkan satu pun perwakilan hukum atau pejabat perusahaan. Ketidakhadiran itu disesalkan oleh pihak penggugat.
“Saya sangat kecewa. Sebagai institusi pemerintah daerah, seharusnya mereka memberi contoh dengan menghormati proses hukum. Jarak kantor PUDAM dengan pengadilan hanya sekitar lima menit, sementara saya datang dari Jombang demi memperjuangkan keadilan bagi warga,” kata Sujarwanto.
Kekecewaan juga muncul karena tidak adanya klarifikasi resmi dari pihak PUDAM atas tudingan yang berkembang. Padahal, menurut Sujarwanto, ini bisa menjadi momentum untuk menjernihkan persoalan secara terbuka di hadapan majelis hakim.
Saat dikonfirmasi lebih lanjut, Kepala Bagian Umum PUDAM Bangkalan, Nasiruddin, tidak memberikan penjelasan substantif. Ia hanya menyebut bahwa Direktur Utama sedang berada di luar kota dan belum bisa hadir dalam persidangan.
“Mohon maaf, Dirut sedang ada rapat di luar. Tapi kami pastikan akan hadir pada sidang berikutnya. Terkait substansi perkara, saya tidak memiliki kewenangan untuk menjelaskan. Lebih baik langsung ke pimpinan,” ujar Nasiruddin saat ditemui di kantor PUDAM.
Hingga kini, belum ada penjelasan resmi dari pihak PUDAM mengenai dasar hukum penerbitan SKHP atas lahan tersebut, maupun alasan tidak adanya komunikasi dengan pemilik tanah sebelumnya.
Sidang lanjutan perkara ini dijadwalkan digelar pekan depan. Kuasa hukum penggugat berharap majelis hakim dapat membuka fakta-fakta hukum secara obyektif dan memberikan perlindungan terhadap hak kepemilikan masyarakat kecil.
“Klien kami hanya ingin keadilan dan haknya dihormati. Jika memang ada kekeliruan administratif atau pelanggaran, kami minta itu diperbaiki secara hukum. Jangan sampai rakyat kecil dikorbankan atas nama pembangunan,” pungkas Sujarwanto.
Kasus ini menambah daftar panjang sengketa lahan antara warga dan institusi pemerintah di Madura. Publik kini menanti, apakah proses hukum ini mampu menjadi jalan terang untuk penyelesaian konflik agraria yang adil dan bermartabat.(Red)
dibaca